Sabtu, 09 Juli 2011

MBS


MAKALAH KERJA
IMPLEMENTASI MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH



Disusun untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah
Seminar Manajemen Pendidikan
Dosen : Prof. Dr. H. Djam’an Satori, MA








Lambang-Unigal.jpg








Oleh:

1.      ACENG KURNIA                     NIM: 82321011040
2.      ENDANG TUTI S                      NIM: 82321011051
3.      TATI SUTIATI                          NIM: 82321011073




PROGRAM STUDI MAGISTER MANAJEMEN PENDIDIKAN
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS GALUH CIAMIS
2011

KATA PENGANTAR

Puji syukur dipanjatkan kehadirat Illahi Rabbi yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas pembuatan makalah ini. Shalawat serta salam semoga dilimpahkan kepada Nabi Muhamad SAW.
Makalah IMPLEMENTASI MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Seminar Manajemen Pendidikan. Penulis menyadari bahwa dalam penyususnan makalah ini masih banyak kekeurangan, oleh karena itu masukan dan saran dari semua pihak sangat saya harapkan untuk perbaikan makalah ini.
Akhir kata penyususn mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu kelancaran dalam penyusunan makalah ini. Semoga makalah ini bermanfaat khususnya bagi penyususn dan umumnya bagi semua pembaca. Amin.

Penyusun,









DAFTAR ISI

Kata Pengantar..................................................................................................
Daftar isi............................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang ...........................................................................................
1.2  Pembatasan dan Rumusan Masalah............................................................
1.3  Tujuan Penulisan.........................................................................................
1.4  Manfaat Penulisan.......................................................................................
BAB II LANDASAN TEORI
2.1 Konsep MBS...............................................................................................
2.2 Karakteristik MBS.......................................................................................
2.3 Tujuan MBS................................................................................................
2.4 Langkah-Langkah MBS..............................................................................
BAB III PEMBAHASAN................................................................................
BAB IV PENUTUP
4.1 Kesimpulan..................................................................................................
4.2 Saran............................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................

i
ii

1
4
4
5

6
7
10
12
22

27
28
29





BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang Masalah
Secara Fungsional, pendidikan pada dasarnya ditujukan untuk menyiapkan manusia menghadapi masa depan agar hidup lebih sejahtera, baik sebagai individu maupun secara kolektif sebagai warga masyarakat, bangsa maupun  antar bangsa. Bagi pemeluk agama, masa depan mencakup kehidupan di dunia dan pandangan tentang kehidupan hari kemudian yang bahagia. Namun saat ini  dunia pendidikan kita belum sepenuhnya dapat memenuhi harapan masyarakat. Fenomena itu ditandai dari rendahnya mutu lulusan, penyelesaian masalah pendidikan yang tidak tuntas, atau cenderung tambal sulam, bahkan lebih beorientasi proyek.
Akibatnya, seringkali hasil pendidikan mengecewakan masyarakat. Mereka terus mempertanyakan relevansi pendidikan dengan kebutuhan masyarakat dalam dinamika kebutuhan ekonomi, politik, sosial dan budaya. Kualitas lulusan pendidikan kurang sesuai dengan kebutuhan pasar dan pembangunan, baik industri, perbankan, telekomunikasi, maupun pasar tenaga kerja sektor lainnya yang cenderung menggugat eksistensi sekolah. Bahkan SDM yang disiapkan melalui pendidikan sebagai generasi penerus belum sepenuhnya memuaskan bila dilihat dari segi akhlak, moral, dan jati diri bangsa dalam kemajemukan budaya bangsa.
Kondisi tersebut menyebabkan sebagian masyarakat menjadi pesimis terhadap eksistensi dan sumbangsih sekolah. Ada anggapan bahwa pendidikan tidak lagi mampu menciptakan mobilitas sosial mereka secara vertikal, karena sekolah tidak menjanjikan pekerjaan yang layak.
Sekolah kurang menjamin masa depan anak yang lebih baik. Sebagaimana diungkapkan di muka, perubahan paradigma baru pendidikan kepada mutu (quality oriented) merupakan salah satu strategi untuk mencapai pembinaan keunggulan pribadi anak. Reformasi bidang politik di Indonesia pada penghujung abad ke 20 M telah membawa peubahan besar pada kebijakan pengembangan sektor pendidikan, yang secara umum bertumpu pada dua paradigma baru yang otonomisasi dan demokratisasi.
Undang-undang No 32 Tahun 2004 tentang otonomi daerah telah meletakan sektor pendidikan sebagai salah satu yang diotonomisasikan bersama sektor-sektor pembangunan yang berbasis kedaerahan lainnya seperti kehutanan, pertanian, koperasi dan pariwisata. Otonomisasi sektor pendidikan kemudian didorong pada sekolah, agar kepala sekolah dan guru memiliki tanggung jawab besar dalam peningkatan kualitas proses pembelajaran untuk meningkatkan kualitas hasil belajar. Baik dan buruknya kualitas hasil belajar siswa menjadi tanggung jawab guru dan kepala sekolah, karena pemerintah daerah hanya memfasilitasi berbagai aktivitas pendidikan, baik sarana prasarana, ketenagaan, maupun berbagai program pembelajaran yang direncanakan sekolah.
Bersamaan dengan itu, pemerintah juga mengeluarkan undang-undang No 20 Tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Nasional, sebagai pengganti undang-undang No 2 Tahun 1989. Salah satu isu penting dalam undang-undang tersebut adalah pelibatan masyarakat dalam pengembangan sektor pendidikan, sebagaimana ditegaskan pada pasal 9 bahwa masyarakat  berhak untuk berperan serta dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi program pendidikan. Pasal ini merupakan kelanjutan dari pernyataan pada pasal 4 ayat 1 bahwa pendidikan di indonesia diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan.
Demokratisasi pendidikan merupakan implikasi dari dan sejalan dengan kebijakan mendorong pengelolaan sektor pendidikan pada daerah, yang implementasinya di tingkat sekolah, baik rencana pengembangan sarana dan alat ketenagaan, kurikulum serta berbagai program pembinaan siswa, semua diserahkan pada sekolah untuk merancangnya serta mendiskusikannya dengan mitra horizontalnya dari komite sekolah.
Pemberian otonomi pendidikan yang luas pada sekolah merupakan kepedulian pemerintah terhadap gejala-gejala yang muncul di masyarakat serta upaya peningkatan mutu pendidikan secara umum. Pemberian otonomi ini menuntut pendekatan manajemen yang lebih kondusif di sekolah agar dapat mengakomodasi seluruh keinginan sekaligus memberdayakan berbagai komponen masyrakat secara efektif guna mendukung kemajuan dan sistem yang ada di sekolah. Dalam kerangka inilah, MBS tampil sebagai alternatif paradigma baru manajemen pendidikan yang ditawarkan.
MBS merupakan suatu konsep yang menawarkan otonomi pada sekolah untuk menentukan kebijakan sekolah dalam rangka meningkatkan mutu, efesiensi dan pemerataan pendidikan agar dapat mengakomodasi keinginan masyarakat setempat serta menjalin kerjasama yang erat antara sekolah, masyarakat dan pemerintah.
Dengan latar belakang tersebut jelas bahwa Manajemen Berbasis Sekolah merupakan suatu penawaran bagi sekolah untuk menyediakan pendidikan yang lebih baik dan lebih memadai bagi peserta didik karena MBS memberi peluang bagi kepala sekolah, guru dan peserta didik untuk melakukan inovasi dan improvisasi di sekolah, berkaitan dengan masalah kurikulum, pembelajaran manajerial dan lain sebagainya yang tumbuh dari aktivitas, kreativitas dan profesionalisme yang dimiliki dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan. Oleh karena itu, untuk memaparkan sampai sejauh mana implementasi MBS, penulis menyusun makalah ini sebagai upaya refleksi dan proyeksi agar mutu pelaksanaan proses pendidikan dapat meningkat.
1.2  Pembatasan dan Rumusan Masalah
Berdasarkan  latar belakang permasalahan diatas maka masalah yang dibatasi pada stategi peningkatan mutu pendidikan diantaranya : Sumber Daya Manusia (SDM), Sarana dan Prasarana Pendidikan, Manajemen Pendidikan, Kurikulum.
Berdasarkan latar belakang dan pembatasan masalah diatas, maka rumusan masalah pada makalah ini adalah : Sejauhmana implementasi MBS dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan.
1.3  Tujuan Penulisan
Tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan makalah ini adalah :
1.3.1        Mengukur sampai sejauh mana pelaksanaan Manajemen Berbasis Sekolah.
1.3.2        Mengetahui langkah-langkah perbaikan yang harus dilakukan pihak sekolah dalam implementasi MBS sehingga upaya peningkatan mutu sekolah dapat terlaksana secara optimal.





1.4  Manfaat Penulisan
Makalah ini diharapkan memberikan sejumlah manfaat antara lain :
1.4.1    Secara teoritis / akademis, penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khasanah kepustakaan pendidikan, Khususnya mengenai korelasi antara implementasi MBS sebagai upaya peningkatan mutu pendidikan.
1.4.2    Secara praktis, hasil penelitian ini dapat memberikan masukan untuk meningkatkan mutu pendidikan melalui implementasi MBS.



















BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Konsep MBS (Manajemen Berbasis Sekolah)
Pengertian Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
            Istilah manajemen Berbasis Sekolah merupakan terjemahan dari School Based Management. Istilah ini pertama kali muncul di Amerika Serikat ketika masyarakat mulai mempertanyakan relevansi pendidikan dengan tuntutan dan perkembangan masyarakat setempat.
            Pengertian Manajemen Berbasis Sekolah menurut beberapa ahli :
Menurut E. Mulyasa: “MBS merupakan salah satu wujud dari reformasi pendidikan yang menawarkan  kepada sekolah untuk menyediakan pendidikan yang lebih baik dan memadai bagi para peserta didik. Otonomi dalam manajemen merupakan potensi bagi sekolah untuk meningkatkan kinerja para staf, menawarkan partisipasi langsung kelompok-kelompok yang terkait, dan meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap pendidikan”.
Menurut Nanang Fatah: “MBS merupakan pendekatan politik yang bertujuan untuk mendesain ulang pengelolaan sekolah dengan memberikan kekuasaan kepada kepala sekolah dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam upaya perbaikan kinerja sekolah yang mencakup guru, siswa, komite sekolah, orang tua siswa dan masyarakat. Manajemen Berbasis Sekolah mengubah sistem pengambilan keputusan dengan memindahkan otoritas dalam pengambilan keputusan dan manjemen ke setiap yang berkepentingan di tingkat lokal (local stakeholder)”.
Menurut Bedjo Sudjanto: “MBS merupakan model manajemen  pendidikan yang memberikan otonomi lebih besar kepada sekolah. Di samping itu, MBS juga mendorong pengambilan keputusan partisipatif yang melibatkan langsung semua warga sekolah yang  dilayani dengan tetap selaras pada kebijakan nasional pendidikan.
            Jadi, MBS merupakan sebuah strategi untuk memajukan pendidikan dengan mentransfer keputusan penting dengan memberikan otoritas dari negara dan pemerintah daerah kepada individu pelaksana di sekolah. MBS memberi kontrol yang sangat besar dalam proses pendidikan terhadap kepala sekolah, guru, siswa, dan orang tua dengan memberi mereka tanggung jawab untuk memutuskan anggaran, personil, serta kurikulum.
2.2 Karakterisik MBS
            Menurut Syafarudin (2001), MBS memiliki karakter yang perlu dipahami oleh sekolah yang akan menerapkannya, karakteristik tersebut merupakan ciri khas yang dimiliki sehingga membedakan dari sesuatu yang lain. MBS memiliki karakterstik sebagai berikut :
a.    Adanya otonomi yang luas kepada sekolah
b.    Adanya partisipasi masyarakat dan orang tua siswa yang tinggi
c.    Kepemimpinan sekolah yang demokratis dan profesional
d.   Adanya team work yang tinggi, dinamis dan profesional
Karakteristik Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS) dapat dilihat pula melalui pendidikan sistem. Hal ini didasari oleh pengertian bahwa sekolah merupakan sebuah sistem sehingga penguraian karakteristik MPMBS berdasarkan pada input, proses dan output.
1.    Input Pendidikan
Dalam input pendidikan ini meliputi; (a) memiliki kebijakan, tujuan, dan sasaran mutu yang jelas, (b) sumber daya yang tersedia dan siap, (c) staf yang kompeten dan berdedikasi tinggi, (d) memiliki harapan prestasi yang tinggi, (e) fokus pada pelanggan.
2.    Proses
Dalam proses terdapat sejumlah  karakter yaitu; (a) PBM yang memiliki tingkat efektifitas yang tinggi, (b) kepemipinan sekolah yang kuat,                       (c) lingkungan sekolah yang aman dan tertib, (d) pengelolaan tenaga kependidikan yang efektif, (e) sekolah memiliki budaya mutu, (f) sekolah memiliki team work yang kompak, cerdas dan dinamis.
3.    Output yang diharapkan
Output sekolah adalah prestasi sekolah yang dihasilkan melalui proses pembelajaran dan manajemen di sekolah. Pada umumnya output dapat diklasifikasikan menjadi dua yaitu output berupa prestasi akademik yang berupa hasil Ujian akhir Nasional, lomba karya ilmiah remaja, cara-cara berfikir (kritis, kreatif, nalar, rasioanal, induktif, deduktif, dan ilmiah). Dan output non akademik berupa keingintahuan yang tinggi,harga diri, kejujuran, kerjasama yang baik, toleransi, kedisiplinan, prestasi olahraga, kesenian dari para peserta didik dan sebagainya. Karakteristik MBS dapat diketahui juga antara lain dari bagaimana sekolah dapat mengoptimalkan kinerja organisasi sekolah, proses belajar mengajar, pengolahan sumber daya manusia, dan pengelolaan sumber daya administrasi.
Sementara itu, menurut Depdiknas fungsi yang dapat disentralisasikan ke sekolah adalah sebagai berikut:
1.    Perencanaan dan evaluasi program sekolah
Sekolah diberikan kewenangan untuk melakukan perencanaan sesuai dengan kebutuhannya, sekolah juga diberi kewenangan untuk melakukan evaluasi khususnya evaluasi internal dan evaluasi diri.
2.    Pengelolaan kurikulum
Sekolah dapat mengembangkan, namun tidak boleh mengurangi isi kurikulum yang berlaku secara nasional yang dikembangkan oleh pemerintah pusat. Sekolah juga diberi kebebasan untuk mengembangkan kurikulum muatan lokal.
3.    Pengelolaan proses belajar mengajar
Sekolah diberi kebebasan untuk memilih strategi, metode, dan teknik pembelajaran dan pengajaran yang efektif sesuai dengan karakteristik mata pelajaran, karakteristik siswa, karakteristik guru dan kondisi nyata sumber daya yang tersedia di sekolah.
4.    Pengelolaan ketenagaan
Pengelolaan ketenagaan mulai dari analisis kebutuhan perencanaan, rekrutmen, pengembangan, penghargaan dan sanksi, hubungan kerja hingga evaluasi kinerja tenaga kerja sekolah dapat dilakukan oleh sekolah kecuali guru pegawai negeri yang sampai saat ini masih ditangani oleh birokrasi diatasnya.
5.    Pengelolaan keuangan
Pengelolaan keuangan, terutama pengalokasian atau penggunaan uang sudah sepantasnya dilakukan oleh sekolah. Sekolah juga harus diberi kebebasan untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang mendatangkan penghasilan, sehingga sumber keuangan tidak semata-mata bergantung pada pemerintah.
6.    Pelayanan siswa
Pelayanan siswa mulai dari penerimaan siswa baru, pengembangan, pembinaan, pembimbingan, penempatan untuk melanjutkan sekolah atau untuk memasuki dunia kerja hingga pengurusan alumni dari dulu telah didesentralisasikan. Yang diperlukan adalah peningkatan intensitas dan ekstensitasnya.
7.    Hubungan sekolah dan masyarakat
Esensi hubungan sekolah dan masyarakat adalah untuk meningkatkan kepedulian, kepemilikan, dan dukungan dari masyarakat terutama dukungan moral dan finansial yang dari dulu telah didesentralisasikan. Yang diperlukan adalah peningkatan intensitas dan ekstensitasnya.
2.3 Tujuan Manajemen Berbasis Sekolah
            Tujuan utama Manajemen Berbasis Sekolah adalah meningkatkan efesiensi, mutu, dan pemerataan pendidikan. Peningkatan efesiensi diperoleh melalui keleluasaan mengelola sumber daya yang ada, partisifasi masyarakat, dan penyederhanaan birokrasi. Peningkatan mutu diperoleh melalui partisifasi orang tua, kelenturan pengelolaan sekolah, peningkatan profesionalisme guru, adanya hadiah dan hukuman sebagai kontrol, serta hal lain yang dapat menumbuhkembangkan suasana yang kondusif.
            Sementara itu baik berdasarkan kajian pelaksanaan di negara-negara lain, maupun yang tersurat dan tersirat dalam kebijakan pemerintah dan UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003, tentang Pendidikan Berbasis Masyarakat pasal 55 ayat 1: Masyarakat berhak menyelenggarakan pendidikan berbasis masyarakat pada pendidikan formal dan non formal sesuai dengan kekhasan agama, lingkungan sosial, dan budaya untuk kepentingan masyarakat.  Berkaitan dengan pasal tersebut setidaknya ada empat aspek, yaitu: kualitas (mutu) dan relevansi, keadilan, efektifitas dan efesiensi serta akuntabilitas.
1)   MBS bertujuan mencapai mutu quality dan relevansi pendidikan yang setinggi-tingginya, dengan tolak ukur penilaian pada hasil output dan outcome bukan pada metodologi atau prosesnya. Mutu dan relevansi ada yang memandangnya sebagai satu kesatuan substansi, artinya hasil pendidikan yang bermutu sekaligus yang relevan dengan berbagai konteksnya. Bagi yang memisahkan keduanya, maka mutu lebih merujuk pada dicapainya tujuan spesifik oleh siswa (lulusan), seperti nilai ujian atau prestasi lainnya. Sedangkan relevansi lebih merujuk pada manfaat dari apa yang diperoleh siswa melalui pendidikan dalam berbagai lingkup/tuntutan kehidupan (dampak), termasuk juga ranah pendidikan yang tidak diujikan.
2)   MBS bertujuan menjamin keadilan bagi setiap anak untuk memperoleh layanan pendidikan yang bermutu di sekolah yang bersangkutan. Dengan asumsi bahwa setiap anak berpotensi untuk belajar, maka MBS diberi keleluasaan kepada setiap sekolah untuk menangani setiap anak dengan latar belakang sosial ekonomi dan psikologis yang beragam untuk memperoleh kesempatan dan layanan yang memungkinkan semua anak dan masing-masing anak berkembang secara optimal. Sungguhpun antara sekolah harus saling memacu prestasi, tetapi setiap sekolah harus melayani setiap anak (bukan hanya yang pandai), dan secara keseluruhan sekolah harus mencapai standar kompetensi minimal bagi setiap anak yang diluluskan. Keadilan ini begitu penting sehingga para ahli sekolah efektif menyingkat tujuan sekolah efektif hanya mutu dan keadilan atau quality and equity.
3)   MBS bertujuan meningkatkan efektifitas dan efesiensi. Efektifitas berhubungan dengan proses, prosedur, dan ketepatgunaan semua input yang dipakai dalam proses pendidikan sekolah, sehingga menghasilkan hasil belajar siswa seperti yang diharapkan (sesuai tujuan). Efektif tidaknya suatu sekolah diketahui lebih pasti setelah ada hasil, atau dinilai hasilnya. Sebaliknya untuk mencapai hasil yang baik, diupayakan menerapkan indikator-indikator atau ciri-ciri sekolah efektif. Dengan menerapkan MBS diharapkan setiap sekolah, sesuai kondisi masing-masing dapat menerapkan metode yang tepat (yang dikuasai), dan input lain yang tepat pula (sesuai lingkungan dan kondisi sosial budaya), sehingga semua input tepat guna dan tepat sasaran. Atau dengan kata lain, efektif untuk meningkatkan mutu pendidikan. Sementara itu, efesiensi berhubungan dengan nilai uang yang dikeluarkan atau harga (cost) untuk memenuhi semua input (proses dan semua input yang digunakan dalam proses) dibandingkan atau dihubungkan dengan hasilnya (hasil belajar siswa).
4)   MBS bertujuan meningkatkan akuntabilitas sekolah daan komitmen semua stake holders. Akuntabilitas adalah pertanggungjawaban atas semua yang dikerjakan sesuai wewenang dan tanggungjawab yang diperolehnya. Selama ini pertanggungjawaban sekolah lebih pada masalah administrati keuangan dan bersifat vertikal sesuai jalur birokrasi. Pertanggungjawaban yang bersifat teknis edukatif terbatas pada pelaksanaan program sesuai petunjuk dan pedoman dari pusat (pusat dalam arti nasioanal, maupun pusat birokrasi di bawahnya), tanpa pertanggungjawaban hasil pelaksanaan program.
2.4 Langkah-Langkah MBS
Secara umum dapat disimpulkan bahwa implementasi MBS akan berhasil melalui strategi-strategi berikut ini:
Pertama, sekolah harus memiliki otonomi terhadap empat hal, yaitu dimilikinya otonomi dalam kekuasaan dan kewenangan, pengembangan pengetahuan dan keterampilan secara berkesinambungan, akses informasi ke segala bagian dan pemberian penghargaan kepada setiap pihak yang berhasil.
Kedua, adanya peran serta masyarakat secara aktif, dalam hal pembiayaan, proses pengambilan keputusan terhadap kurikulum. Sekolah harus lebih banyak mengajak lingkungan dan mengelola sekolah karena bagaimanapun sekolah adalah bagian dari masyarakat luas.
Ketiga, kepala sekolah harus menjadi sumber inspirasi atas pembangunan dan pengembangan sekolah secara umum kepala sekolah dalam MBS berperan sebagai designer, motivator, fasilitator. Bagaimanapun kepala sekolah adalah pimpinan yang mempunyai kekuatan untuk itu. Oleh karena itu, pengangkatan kepala sekolah harus didasarkan atas kemampuan manajerial dan kepemimpinan dan bukan lagi didasarkan atas jenjang kepangkatan.
Keempat, adanya proses pengambilan keputusan yang demokratis dalam kehidupan dewan sekolah yang aktif. Dalam pengambilan keputusan kepala sekolah harus mengembangkan iklim demokratis dan memperhatikan aspirasi dari bawah. Konsumen yang harus dilayani kepala sekolah adalah murid dan orang tuanya, masyarakat dan para guru. Kepala sekolah jangan selalu menengok ke atas sehingga hanya menyenangkan pimpinannya namun mengorbankan masyarakat pendidikan yang utama.
Kelima, semua pihak harus memahami peran dan tanggung jawabnya secara bersungguh-sungguh. Untuk bisa memahami peran dan tanggung jawabnya masing-masing harus ada sosialisasi terhadap konsep MBS itu sendiri. Siapa kebagian peran apa dan melakukan apa, sampai batas-batas nyata perlu dijelaskan secara nyata.
Keenam, adanya guidelines dari Departemen Pendidikan terkait sehingga mampu mendorong proses pendidikan di sekolah secara efisien dan efektif.  Guidelines itu jangan sampai berupa peraturan-peraturan yang mengekang dan membelenggu sekolah. Artinya, tidak perlu lagi petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis dalam pelaksanaan MBS, yang diperlukan adalah rambu-rambu yang membimbing.
Ketujuh, sekolah harus memiliki transparansi dan akuntabilitas yang minimal diwujudkan dalam laporan pertanggung jawabannya setiap tahunnya. Akuntabilitas sebagai bentuk pertanggung jawaban sekolah terhadap semua stake holder. Untuk itu, sekolah harus dijalankan secara transparan, demokratis, dan terbuka terhadap segala bidang yang dijalankan dan kepada setiap pihak terkait.
Kedelapan, Penerapan MBS harus diarahkan untuk mencapai kinerja sekolah dan lebih khusus lagi adalah meningkatkan pencapaian belajar siswa. Perlu dikemukakan lagi bahwa MBS tidak bisa langsung meningkatkan kinerja belajar siswa namun berpotensi untuk itu. Oleh karena itu, usaha MBS harus lebih terfokus pada pencapaian prestasi belajar siswa.
Kesembilan,implementasi diawali dengan sosialisasi dari konsep MBS, identifikasi peran masing-masing  pembangunan kelembagaan untuk mengadakan pelatihan-pelatihan terhadap peran barunya, implementasi pada proses pembelajaran, evaluasi, dan pelaksanaan di lapangan dan dilakukan perbaikan-perbaikan.  
            Bagi sekolah yang akan mengoperasikan MBS paling tidak ada 6 (enam) langkah, yaitu: 1) evaluasi diri; 2) perumusan visi, misi, dan tujuan; 3) perencanaan; 4) pelaksanaan; 5)evaluasi; dan 6) pelaporan.
Masing-masing langkah dapat dijelaskan sebagai berikut:
1)   Evaluasi diri (self assessment)
Evaluasi diri sebagai langkah awal bagi sekolah yang ingin, atau akan melaksanakan manajemen mutu berbasis sekolah. Kegiatan ini dimulai dengan curah pendapat brainstorming yang diikuti oleh kepala sekolah, guru dan seluruh staf dan ikut juga anggota komite sekolah. Prakarsa dan pimpinan rapat adalah kepala sekolah. Untuk memancing minat acara rapat dapat dimulai dengan pertanyaan seperti: perlukah kita meningkakan mutu? Seperti apakah kondisi sekolah kita dalam hal itu pada saat ini? Mengapa sekolah kita tidak/belum bermutu?
Kegiatan ini bertujuan:
a)    Mengetahui kondisi sekolah saat ini dalam segala aspeknya (seluruh komponen sekolah), kemajuan yang telah dicapai maupun masalah-masalah yang dihadapi ataupun kelemahan yang dialami.
b)   Refleksi (mawas diri) untuk membangkitkan kesadaran/keprihatinan akan penting dan perlunya pendidikan yang bermutu, sehingga timbul komitmen bersama untuk meningkatkan mutu  sense of quality.
c)    Merumuskan titik tolak point of departure bagi sekolah/madrasah yang ingin atau akan mengembangkan diri terutama dalam hal mutu. Titik awal ini penting karena sekolah yang sudah berjalan untuk memperbaiki mutu, mereka tidak berangkat dari nol, melainkan dari kondisi yang dimiliki.
2)   Perumusan visi, misi, dan tujuan
Bagi sekolah yang baru berdiri atau baru didirikan, perumusan visi dan misi serta tujuan merupakan langkah awal yang harus dilakukan yang menjelaskan kemana arah pendidikan yang ingin dituju oleh para pendiri/penyelenggara pendidikan. Dalam kasus sekolah negeri kepala sekolah bersama guru mewakili pemerintah kab/kota sebagai pendiri dan bersama wakil masyarakat setempat atau orang tua siswa harus merumuskan kemana sekolah ke masa depan akkan dibbawa, sejauh tidak bertentangan dengan tujuan pendidikan nasional sepeti tercantum dalam UU No. 23 tahun 2003 tentang Sisdiknas.
Kondisi yang diharapkan/diinginkan dan diimpikan dalam jangka panjang itu, kalau dirumuskan secara singkat dan menyeluruh disebut visi. Keadaan yang diinginkan tersebut hendaklah ada kaitannya dengan idealisme dan mutu pendidikan. Idealisme disini dapat berkaitan dengan kebangsaan, kemanusiaan, kedilan, keluhuran budi pekerti, ataupun kualitas pendidikan sebagaimana telah didefinisikan sebelumnya.
Sedangkan misi merupakan jabaran dari visi atau merupakan komponen-komponen pokok yang harus direalisasikan untuk mencapai visi yang telah ditetapkan. Dengan kata lain misi merupakan tugas-tugas pokok yang harus dilakukan untuk mewujudkan visi. Tujuan merupakan tahapan antara atau tonggak-tonggak penting antara titik berangkat (kondisi awal) dan titik tiba tujuan akhir yang rumusannya teertuang dalam bentuk visi-misi. Tujuan-tujuan antara lain sebgai tujuan jangka menengah kalau tiba saatnya berakhir (tahun yang ditetapkan) akan disusul dengan tujuan berikutnya, sedangkan visi dan isi (relatif/pada umumnya) masih tetap.
3)   Perencanaan
Perencanaan pada tingkat sekolah adalah kegiatan yang ditujukan untuk menjawab : apa yang harus dilakukan dan bagaimana melakukannya untuk mewujudkan tujuan yang telah ditetapkan / disepakati pada sekolah yang bersangkutan, termasuk anggaran yang diperlukan untuk membiayai kegiatan yang direncanakan.
Dengan kata lain perencanaan adalah kegiatan menetapkan lebih dulu tentang apa-apa yang harus dilakukan, prosedurnya serta metode pelaksanaannya untuk mencapai suatu tujuan organisasi atau satuan organisasi. Perencanaan oleh sekolah merupakan persiapan yang teliti tentang apa-apa yang akan dilakukan dan skenario melaksanakannya untuk mencapai tujuan yang diharapkan, dalam bentuk tertulis. Dikatakan teliti karena ia harus menjelaskan apa yang akan dilakukan, seberapa besar lingkup cakupan kuantitatif dan kualitatif yang akan dikerjakan, bagaimana, kapan dan berapa perkiraan satuan-satuan biayanya, serta hasil seperti apa yang diharapkan.
4)   Pelaksanaan
Apabila kita bertitik tolak dari fungsi-fungsi manajemen yang umumnya kita kenal sebagai fungsi perencanaan, pengorganisasian, pengarahan/ penggerakan atau kepemimpinan dan kontrol/ pengawasan serta evaluasi, maka langkah pertama sampai ketiga dapat digabungkan fungsi perencanaan yang secara keseluruhan (untuk sekolah) sudah dibahas. Didalam pelaksanaan tentu masih ada kegiatan perencanaan-perencanaan yang lebih mikro (kecil) baik yang terkait dengan penanggalan waktu (bulanan, semesteran, bahkan mingguan), atau yang terkait erat dengan kegiatan khusus, misalnya menhadapi lomba bidang study, atau kegiatan lainnya. Tahap pelaksanaan, dalam hal ini pada dasarnya menjawab bagaimana semua fungsi managemen sebagai suatu proses untuk mencapai tujuan lembaga yang telah ditetapkan melalui kerjasama dengan orang lain dan dengan sumber daya yang ada, dapat berjalan sebagaimana mestinya (efektif dan efesien). Pelaksanaan juga diartikan sebagai suatu proses kegiatan merealisasikan apa-apa yang telah direncanakan.
Peran masing-masing itulah yang perlu disoroti didalam manajemen mutu berbasis sekolah.
  1. Peran Kepala Sekolah
Dengan kedudukan sebagai manager kepala sekolah bertanggung jawab atas terlaksananya fungsi-fungsi manajemen. Sebagai perencana, kepala sekolah mengidentifikasi dan merumuskan hasil kerja yang ingin dicapai oleh sekolah dan mengindentifikasi serta merumuskan cara-cara (metode) untuk mencapai hasil yang diharapkan. Peran dalam fungsi ini mencakup: penetapan tujuan dan standar, penentuan aturan dan prosedur kerja disekolah, pembuatan rencana, dan peramalan apa yang akan terjadi untuk masa yang akan datang.
  1. Peran Guru dan Staf  Sekolah
Peran guru (staf pengajar) sebenarnya tidak jauh berbeda dengan peran kepala sekolah, hanya lingkupnya yang berbeda. Dalam lingkup yang lebih kecil (mikro) yaitu mengelola proses pembelajaran sesuai kelompok belajar atau bidang studi yang dipegangnya, setiap guru memahami visi dan misi sekolah, merencanakan proses pembelajaran, (mengorganisasikan bahan, siswa, mengsinergikan dengan metoda dan sumber belajar yang tepat dan ia kuasai), menerapkan kepemimpinan yang demokratis dan memberdayakan siswa dengan mengambil keputusan sesuai kewenangan yang ia miliki dan menjalin hubungan komunikasi yang baik dengan guru lain, dengan siswa, dengan kepala sekolah dan orang tua. Ia juga memonitor kemajuan siswa, serta melakukan evaluasi perkembangan setiap anak sebagai masukan bagi perbaikan pelaksanaan proses pembelajaran secara terus menerus. Guru juga memberi penghargaan bagi siswa yang menunjukan kemajuan dalam belajar (berprestasi) serta memberikan semangat/ dorongan (motivasi) serta membantu siswa yang pretasinya kurang/ belum memuaskan. 
  1. Peran Orang Tua Siswa dan Masyarakat
Peran orang tua siswa dan masyarakat sudah lama dikenal sebagai pusat-pusat pendidikan yang penting didalam mengembangkan anak (menjadi pribadi mandiri dengan segala keterampilan hidupnya) bersama-sama dengan sekolah sebagai institusi formal yang terencana, terstruktur, dan teratur melaksanakan fungsi pendidikan.
  1. Peran Siswa
Siswa atau murid merupakan subjek utama dan konsumen utama dari segala upaya yang dilaksanakan oleh penyelenggara satuan pendidikan bersama manajemen yang terlibat di dalamnya. Dalam posisinya yang menjadi subjek tujuan pendidikan itu, maka keinginan dan harapan mereka, motivasi mereka, serta komitmen keterlibatan mereka menjadi penting. Salah satu cara untuk mengakomodasi kepentingan mereka adalah dengan mendengarkan suara mereka.
5)   Evaluasi
Evaluasi sebagai salah satu tahapan dalam MBS merupakan kegiatan yang penting untuk mengetahui kemajuan atau hasil yang dicapai oleh sekolah didalam melaksanakan fungsinya sesuai rencana yang telah dibuat sendiri oleh masing-masing sekolah. Evaluasi pada tahap ini adalah evaluasi menyeluruh, menyangkut pengelolaan semua bidang dalam satuan pendidikan yaitu bidang teknis edukatif (pelaksanaan kurikulum/ proses pembelajaran dengan segala aspeknya), bidang ketenagaan, bidang keuangan, bidang sarana prasarana dan administrasi ketatalaksanaan sekolah. Sungguh pun demikian, bidang teknis edukatif harus menjadi sorotan utama dengan fokus pada capaian hasil (prestasi belajar siswa).
6)   Pelaporan
Pelaporan disini diartiakan sebagai pemberian atau penyampaian informasi tertulis dan resmi kepada bebagai pihak yang berkepentingan stake holders, mengenai aktivitas manajemen satuan pendidikan dan hasil yang dicapai dalam kurun waktu tertentu berdasarkan rencana dan aturan yang telah ditetapkan sebagai bentuk pertanggung jawaban atas tugas dan fungsi yang diemban oleh satuan pendidikan tersebut. Kegiatan pelaporan sebenarnya merupakan kelanjutan kegiatan evaluasi dalam bentuk mengkomunikasikan hasil evaluasi secara resmi kepada berbagai pihak sebagai pertanggung jawaban mengenai apa-apa yang telah dikerjakan oleh sekolah beserta hasil-hasilnya. Hanya perlu dicatat disini bahwa sesuai keperluan dan urgensinya tidak semua hasil evaluasi masuk kedalam laporan (pelaporan). Ada hasil evaluasi tertentu yang pemangfaatannya bersifat internal (untuk kalangan dalam sekolah sendiri), ada yang untuk kepentingan eksternal (pihak luar), bahkan masing-masing stake holder mungkin memerlukan laporan yang berbeda fokusnya.
Disamping itu, sebagai dokumen tertulis resmi, yang menyangkut pertanggungjawaban serta reputasi lembaga pendidikan, sungguhpun isinya harus berdasarkan data dan informasi yang benar, laporan memiliki tujuan tertentu sesuai dengan peran institusi yang dilapori atau pembacanya.








BAB III
PEMBAHASAN
Upaya perbaikan pada lembaga pendidikan tidaklah sesederhana yang dipikirkan karena butuh perbaikan yang berkelanjutan, berikut ini langkah-langkah yang harus dilaksanakan dalam meningkatkan mutu pendidikan yang dilandasi oleh Manajemen Berbasis Sekolah.
1. Memperkuat Kurikulum
            Kurikulum adalah instrumen pendidikan yang sangat penting dan strategis dalam menata pengalaman belajar siswa, dalam meletakan landasan-landasan pengetahuan, nilai, keterampilan dan keahlian, dan dalam bentuk atribut kapasitas yang diperlukan untuk menghadapi perubahan-perubahan sosial yang terjadi. Saat ini, memang telah dilakukan upaya-upaya untuk semakin meningkatkan relevansi kurikulum dengan melakukan revisi dan uji coba Kurikulum Berbasis Potensi (KBK). Kurikulum uji coba tersebut didasarkan pada pendekatan yaitu: (1) Pengasahan aspek kognitif dalam bentuk kemampuan, (2) Penguasaan aspek afektif yang lebih kompherensif, dan (3) Penguasaan aspek keterampilan dalam bentuk kapasitas profesional. Kompetensi itu hendaknya dapat membentuk suatu kapasitas yang utuh dan kompherensif sehingga tidak diredusir menjadi keterampilan siap pakai.
2. Memperkuat Kapasitas Manajemen Sekolah
            Dewasa ini telah banyak digunakan model-model dan prinsif-prinsif manajemen modern terutama dalam dunia bisnis untuk kemudian diadopsi dalam dunia pendidikan. Salah satu model yang diadopsi adalah Manajemen Berbasis Sekolah.
            Dalam rangka desentralisasi di bidang pendidikan, model ini mulai dikembangkan untuk diterapkan. Diproposisikan bahwa manajemen berbasis sekolah (MBS) : (1) akan memperkuat rujukan referensi nilai yang dianggap strategis dalam arti memperkuat relevansi, (2) memperkuat partisipasi masyarakat dalam keseluruhan kegiatan pendidikan, (3) memperkuat preferensi nilai pada kemandirian dan kreativitas baik individu maupun kelembagaan, dan (4) memperkuat dan mempertinggikebermaknaan fungsi kelembagaan sekolah.
3.Memperkuat Sumber Daya Tenaga Kepemimpinan
a. Memperkuat Sistem Pendidikan Tenaga Kependidikan
            Dalam jangka panjang, agenda utama upaya memperkuat sumber daya tenaga kependidikan ialah dengan memperkuat sistem pendidikan dan tenaga kependidikan yang memiliki keahlian. Keahlian baru itu adalah modal manusia (human invesmen), dan memerlukan perubahan dalam sistem pembelajarannya.
       b. Memperkuat kepemimpinan
                Dalam fondasi berbagai karakteristik pribadi, pimpinan lembaga pendidikan perlu menciptakan visi untuk mengarahkan lembaga pendidikan dan karyawannya. Dalam konteks ini, penciptaan visi yang jelas akan menumbuhkan komitmen karyawan terhadap kualitas, memfokuskan semua upaya lembaga pendidikan pada rumusan kebutuhan pengguna jasa pendidikan, menumbuhkan motivasi team work dalam pekerjaan, dan menjembatani keadaan lembaga pendidikan sekarang dan masa yang akan datang.
            c. Meningkatkan Mutu Mengajar Melalui Program Inovatif Berbasis    Kompetensi
            Selama ini sekolah terutama guru masih sangat terbatas dalam melakukan inovasi-inovasi pembelajaran. Disisi lain, upaya memperkuat kemampuan mengajar telah diupayakan melalui berbagai jenis penataran, pendidikan, ataupun pelatihan-pelatihan. Melalui berbagai kegiatan tersebut dikenalkan inovasi-inovasi pembelajaran. Tetapi dari pengalaman empirik tampaknya upaya-upaya itu belum secara signifikan membawa perubahan dalam arti peningkatan mutu hasil belajar.
            Pengembangan bahan ajar, pengembangan strategi dan metode pembelajaran, pengembangan sistem evaluasi, dan pengembangan MBS. Kebutuhan akan inovasi itu dapat dilihat dalam dua hal yaitu untuk kepentingan inventions dan untuk kepentingan perubahan kultural sekolah, sehingga terbangun suatu kultur yang (1) berorientasi inovasi, (2)menumbuhkan kebutuhan untuk terus maju dan meningkat, (3) kebutuhan untuk berprestasi, (4) inovasi adalah suatu kebutuhan.
         d.Mengoptimalkan Fungsi-Fungsi Tenaga Kependidikan
            Di sekolah-sekolah selama ini yang berperan utama adalah guru. Seorang guru melaksanakan berbagai fungsi baik fungsi mengajar, konselor, teknisi, maupun pustakawan. Bahkan, dalam kasus-kasus tertentu terdapat guru mengajar bahkan berdasarkan keahliannya. Kondisi ini jelas kurang menguntungkan bagi terselenggaranya suatu poses pendidikan yang baik diperlukan fungsi-fungsi kependidikan yang saling mendukung, sehingga dapat dicapai suatu hasil yang maksimal.
4.Perbaikan Yang Berkesinambungan
            Perbaikan dimaksud adalah perbaikan yang berkesinambungan yang berkaitan dengan komitmen. Komitmen terhadap kualitas dimulai dengan pernyataan dedikasi pada misi dan visi bersama, serta pemberdayaan semua persiapan untuk secara inkrimental mewujudkan visi tersebut. Proses perbaikan berkesinambungan dapat dilakukan berdasarkan siklus POAC (Planing, Organizing, Aktuating dan controling)
5. Memperkuat Sarana Prasarana
            Sarana dan prasarana pendidikan merupakan salah satu elemen penting dalam mewujudkan sekolah bermutu. Di dalamnya terdapat pemenuhan seluruh komponen penting seperti halnya ruang belajar, perpustakaan, laboratorium dan sarana olahraga, serta komponen lain yang sangat mendukung dalam proses pembelajaran seperti komputer, alat peraga dan lain-lain.






BAB IV
PENUTUP
            Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) bukanlah sesuatu yang asli Indonesia, meskipun esensi tertentu sebenarnya sudah berada (eksis) di Indonesia sejak sebelum Indonesia merdeka yang terbukti dengan adanya berbagai lembaga pendidikan swasta (swadaya masyarakat), bahkan sebagian besar berbentuk lembaga pendidikan tradisional, baik yang berlandaskan agama maupun budaya. Sebagai konsep, MBS telah diterapkan di beberapa negara maju, tetapi sebagai model manajemen yang terkait dengan sistem pendidikan setempat (negara yang bersangkutan), maka tidak ada satu pun model yang sama antara model penerapan di negara yang satu dengan yang lain.
            Demikian juga penerapannya di Indonesia, Khususnya di MTs Negeri Purwaharja Kota Banjar, pelaksanaan MBS sangat terkait dengan sistem pemerintahan (yang baru mengalami perubahan besar dan implementasinya masih terus berkembang), sistem pendidikan, kebijakan yang mendukung, serta pengalaman-pengalaman masa lalu yang dapat digunakan sebagai guru terbaik agar tidak perlu mengulang kesalahan yang sama.
            Tidak kalah pentingnya dalam hal ini adalah suasana masyarakat (semua pihak) yang menghendaki desentralisasi (otonomi), transparansi, demokratisasi, akuntabilitas, serta dorongan peningkatan peran masyarakat dalam hampir semua kebijakan dan layanan publik, termasuk pendidikan. Diperkenalkannya MBS di Indonesia cukup mendapat respon/ tanggapan yang positif,meskipun disana sini ada pro dan kontra baik secara terus terang maupun secara diam-diam. Baik yang antusias menerima, mereka ingin segera memperoleh kepastian, ingin memperoleh pedoman, petunjuk dan sebagainya, bahkan menuntut adanya definisi/ batasan pengertian yang pasti. Ini tentu menggembirakan di satu sisi (dari segi keberhasilan sosialisasi inovasi), tetapi di sisi lain tergambar kebiasaan-kebiasaan lama yaitu keseragaman pola kerja, ketergantungan kepada petunjuk, dan kurang adanya kesadaran akan potensi diri dan lingkungan yang dimilki. Di sisi lain ada yang pesimis bahkan sinis terhadap perubahan yang diperkenalkan dengan alasan barang impor, apalagi yang akan diperkenalkan untuk membuat pusing sekolah, sementara di negara asalnya (menurut pandangan yang bersangkutan-pen.) sudah ditinggalkan karena tidak menghasilkan apa-apa.
            Keberhasilan introduksi MBS di MTs Negeri Purwaharja (sungguhpun secara bertahap) tidak lepas dari kondisi objektif yang mendukung pada saat (timing) yang tepat. Elemen-elemen yang mendukung tersebut antara lain: iklim perubahan pemerintahan yang menghendaki transparansi, demokratisasi dan akuntabilitas, desentralisasi dan pemberdayaan potensi masyarakat, konsepsi manajemen pendidikan yang telah lama dipendam oleh para tokoh pendidikan untuk diaktualkan, serta sebagian birokrat yang secara diam-diam konsisten ingin melakukan reformasi tanpa banyak publikasi.
4.1 Kesimpulan
            Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) merupakan sebuah strategi untuk mencapai peningkatan mutu pendidikan di sebuah lembaga. MBS memberikan otoritas luas kepada sekolah untuk membuat keputusan dalam segala bidang dan memberikan ruang partisipasi yang luas kepada msyarakat khususnya orang tua peserta didik.
            Otoritas luas yang diberikan kepada kepala sekolah tentunya harus didukung oleh berbagai pihak, khususnya stake holders (pemangku kepentingan) sekolah. Pada pelaksanaannya MBS harus dilaksanakan secara transparan dan akuntabel (dapat dipetanggungjawabkan).
            Pada intinya tujuan MBS adalah untuk meningkatkan mutu pendidikan yang berujung pada kepuasan pelanggan, dalam hal ini para peserta didik dan orang tua yang menyekolahkan anakanya.
4.2 Saran
            Dalam melaksanakan MBS di Kota Banjar umumnya, khususnya di MTsN Purwaharja, seyogyanya dilakukan dulu pendekatan (approach) dengan semua pihak terkait dalam rangka menyosialisasikan MBS agar tidak terjadi kesalah pahaman dalam menginterpretasikan MBS.
            Pihak sekolah, khususnya kepada sekolah, diharapkan melakukan analisis SWOT (Strength, Weakness, Opportunity, Threat) yakni dengan menganalisis kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman        yang dimiliki oleh pihak sekolah dalam mengimplementasikan MBS.
            Pada intinya MBS dapat direalisasikan dengan baik dan memperoleh hasil optimal sehingga tujuan peningkatan mutu pendidikan dapat tercapai apabila ada dukungan moril dan materil dari semua pihak, baik pemerintah, masyarakat, guru, dan staf kependidikan dan elemen lainnya.


DAFTAR PUSTAKA

Depdiknas, MPMBS, Konsep &  Pelaksanaan, Jakarta:Dirjen Dikdasmen 2001.
Djauzak, Ahmad, Penunjuk Peningkatan Mutu Pendidikan di Sekolah Dasar, Jakarta: Depdikbud 1996.
Fatah, Nanang, Konsep Management Berbasis Sekolah dan Dewan Sekolah, Bandung :Pustaka Bani Quraisy 2003.
Mulyasa, Enco, Manajemen Berbasis Sekolah, Teori dan Praktek, Rosda, 2004.
Sujanto, Bedjo, Mensiasati Manajemen Berbasis Sekolah di Era Krisis yang Berkepanjangan, ICW, 2004.
Syafarudin syaud, udin, Implementasi School Based Management Sebagai Strategi Pengembangan Otonomi Sekolah, 2001.
Syafarudin, Manajemen Mutu Terpadu Dalam Pendidikan, Grasindo, 2002.